SEMARANGUPDATE.COM – Rumah PoHan di kawasan Kota Lama kembali menjadi pusat perhatian publik setelah ratusan warga memadati gedung tersebut untuk menyaksikan pertunjukan seni “Gambang Semarang”, Minggu malam (23/11).
Acara yang digelar oleh Dewan Kesenian Semarang bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah ini berlangsung meriah dan penuh antusiasme dari penonton berbagai kalangan—mulai dari mahasiswa, komunitas seni, peneliti budaya, hingga tokoh-tokoh yang aktif dalam pelestarian warisan kota.
Ketua Dewan Kesenian Semarang, Adhitia Armitrianto, menegaskan pentingnya regenerasi dalam menjaga keberlangsungan seni tradisi.
“Melalui penampilan UKM Kridha Laras, kami ingin membuka ruang apresiasi sekaligus memberi kesempatan bagi seniman muda untuk terlibat aktif dalam pelestarian seni tradisi,” ujarnya.
Acara dibuka tepat pukul 19.00 WIB dengan penampilan dari Unit Kesenian Satoeboemi yang menghadirkan musikalisasi puisi secara menarik. Penampilan tersebut berhasil membangun suasana hangat dan mengajak penonton masuk ke dalam atmosfer apresiasi seni sejak awal.
Sorotan utama malam itu hadir ketika UKM Kridha Laras Universitas Negeri Semarang tampil penuh membawakan seni Gambang Semarang.
Penonton memberikan apresiasi besar terhadap kemampuan musikal mereka—mulai dari penguasaan instrumen, kekuatan vokal, hingga susunan repertoar yang tersusun rapi.
Harmonisasi khas Gambang Semarang yang memadukan unsur Tionghoa, Jawa, dan tradisi pelabuhan tampil kuat di tangan para seniman muda tersebut.
Pertunjukan semakin hidup dengan hadirnya intermezzo drama komedik di sela-sela lagu.
Kehadiran drama pendek ini sukses mengundang tawa sekaligus menunjukkan bahwa Gambang Semarang dapat disajikan secara komunikatif dan tetap relevan bagi generasi masa kini.
Respon hangat dari penonton menjadi bukti bahwa pendekatan kreatif semacam ini efektif dalam menjaga kedekatan tradisi dengan masyarakat.
Pimpinan Produksi, Kesit Widjanarko, mengapresiasi kehadiran penonton yang memenuhi ruangan.
“Kami benar-benar puas melihat bagaimana ruangan terisi penuh oleh para pengunjung dari beragam latar belakang. Kehadiran Ibu Sylvie—kolektor, arsiparis, sekaligus pemilik Rumah PoHan—bersama Pak Ong Po Han, Ibu Grace, dan Prof. Hardhono, serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan bahwa acara ini telah menjadi titik temu lintas disiplin,” tuturnya.
Kesit berharap momentum ini dapat melahirkan forum resmi yang membahas lebih jauh mengenai pengembangan identitas budaya kota.
Melihat antusiasme masyarakat, Dewan Kesenian Semarang bersama Rumah PoHan bahkan mempertimbangkan untuk menjadikan program ini sebagai agenda tahunan.
Pentingnya relevansi tradisi dalam konteks kekinian turut disampaikan Yvonne Sibuea, periset kebudayaan Tionghoa dari EIN Institute.
“Kesenian seperti Gambang Semarang hanya bisa terus hidup bila ia disambungkan dengan generasi hari ini. Tradisi bukan sekadar benda masa lampau; ia harus bernafas dan berbicara dengan cara yang bisa dipahami anak muda. Ketika generasi baru terlibat, maka tradisi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga tumbuh bersama perubahan zaman,” jelasnya.
Pertunjukan di Rumah PoHan ini menjadi bukti kuat bahwa pelestarian budaya membutuhkan kolaborasi lintas pihak—komunitas seni, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas.
Dukungan besar dari publik menjadi dorongan penting dalam memastikan seni tradisi seperti Gambang Semarang terus hidup dan berkembang di tengah dinamika zaman.







